Lingkungan Kerjamu Toxic? Ini 5 Tanda-Tandanya!
Akhir-akhir sering terdengar mengenai budaya kerja toxic di media sosial. Perkembangan zaman serta masuknya generasi baru membuat pembahasan tentang budaya kerja tidaklah tabu lagi untuk dibicarakan. Terlebih lagi, pandemi yang terjadi selama dua tahun membuat banyak orang semakin sadar akan pentingnya kesehatan mental, terutama di dunia kerja.
Toxic work culture memang bukan hal yang baru. Pasti banyak di antara kalian yang sudah sadar sejak dahulu, tetapi ragu untuk tentang masalah ini. Untungnya, sekarang banyak perusahaan yang telah berubah dan menjadi semakin transparan, inclusive, serta mau mengayomi karyawannya. Pembicaraan mengenai toxic work culture pun bisa jadi lebih terbuka dan ada diskusi lebih lanjut bersama manajer dan pemimpin perusahaan.
Apa itu toxic work culture?
Lingkungan kerja yang toxic biasanya ditandai dengan perilaku-perilaku negatif seperti manipulasi, bullying, perkelahian, yang terjadi antar karyawan. Hal-hal ini menjadi normal di lingkungan perusahaan, dan dapat membuat karyawan lain merasa tidak nyaman, tidak produktif, saling menyalahkan, diskriminasi, hingga stres.
Lebih lanjut, karyawan yang bekerja pun merasa “psychologically unsafe”. Mereka seperti dihukum, dipermalukan, dan ditolak saat mereka berbicara, baik untuk mengutarakan ide, concern atau keberatan akan suatu hal. Karyawan pun jadi seperti terperangkap dalam pekerjaan mereka, karena mereka butuh pekerjaan dan harus bertahan di lingkungan yang tidak menyenangkan.
Dilansir dari The Muse, masalah ini tidak hanya disebabkan oleh satu orang, tetapi secara sistemik, karena berakar (biasanya) dari satu orang lalu menyebar ke orang lain.
Ciri-ciri toxic work culture?
Mengenali tanda-tanda toxic work culture mungkin sulit. Selain karena hal-hal tersebut sudah dianggap normal, karyawan juga sulit mengungkapkan pendapat karena merasa tidak didengarkan. Lebih parahnya lagi, mereka mungkin akan belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut, dan membuat sistem kerja yang toxic ini tidak akan berakhir. Tidak jarang pula karyawan merasa “kesepian” karena orang-orang di sekitarnya terlihat baik-baik saja dan mentolerir perilaku yang toksik.
Untuk membantu mengidentifikasinya, berikut tanda-tanda lingkungan kerja toksik yang perlu kamu perhatikan:
-
Tidak ada batasan yang jelas saat bekerja
Budaya kerja ini memaksa kamu untuk memprioritaskan kerja di atas yang lainnya. Contohnya, terlalu banyak lembur yang tidak dibayar dan dipaksa untuk bekerja (termasuk membalas email atau chat) di luar jam kerja. Ini dapat membuat karyawan burnout. Hal ini juga dapat mendorong karyawan lain untuk melakukan hal yang sama dengan momok “solidaritas”.
-
Karyawan sering konflik
Tidak ada tim yang sempurna. Konflik dan perbedaan pendapat adalah hal yang normal terjadi, sebagai bagian dari kolaborasi. Ketika konflik dan perdebatan terjadi karena adanya budaya menang dan kalah, serta terjadi terus menerus tanpa ada jalan tengah dan solusi, ini bisa menjadi salah satu tanda toxic work culture.
-
Tidak ada ruang untuk kesalahan
Ini berhubungan dengan poin di atas. Budaya kerja yang agresif serta cenderung menunjuk kesalahan pada satu orang atau divisi, merupakan salah satu tanda lingkungan toxic. Karyawan jadi selalu merasa anxious, takut disalahkan, dan tidak ada guidance untuk berkembang lebih baik atau memperbaiki kesalahan. Ini juga membuat rasa percaya berkurang antar karyawan.
-
Memandang rendah karyawan lain
Tidak adanya rasa percaya antar karyawan mudah membuat mereka menghina atau memandang rendah karyawan lain, hingga sering bergosip. Tanda-tandanya memang tidak selalu jelas di mata, tapi terlihat ketika manajer atau bos selalu menyetujui pendapat satu karyawan tanpa mengindahkan karyawan lain. Perlakuan tidak adil semakin sering terlihat saat adanya perbedaan pendapat atau konflik.
-
Karyawan mengalami stress dan disengaged
Toxic work culture membuat karyawan burnout hingga stress, dan bisa berdampak pada kesehatan fisik mereka. Secara mental, mereka akan mentally shut down dan menghindari rekan kerja. Mereka akan mulai jarang berkomunikasi, mematikan kamera saat online meeting dan hanya sedikit merespon.
Baca juga: Turnover Karyawan Buat Perusahaan Rugi? Baca Penyebab dan Tips Mengatasinya
Cara mengatasi toxic work culture?
Memperbaiki toxic work culture tidak bisa hanya dilakukan dengan mengatasi toksisitas pada tingkat organisasi saja, tapi juga individu. Manajemen juga perlu bertindak cepat dan mendengarkan pendapat atau concern setiap karyawan.
Komunikasi yang sehat menjadi kunci penting di sini. Bagaimanapun juga, perlu diingat pentingnya memiliki empati, kedewasaan emosional, serta mengenal cara berbicara dan mengutarakan kritik yang baik. Cobalah mengenal lebih baik karyawan atau tim yang kamu nilai toksik, lalu berdiskusi di luar waktu meeting.
Jika diskusi atau pembicaraan tersebut dilakukan oleh orang yang tepat, yang dapat memengaruhi budaya dan dinamika tim, ini bisa menjadi solusi jangka panjang, walaupun tidak terjadi dalam waktu yang singkat.